Sistem Informasi Desa Ketenger

shape
Shape Shape Shape Shape

SEJARAH

KISAH NAMA KETENGER

( BATUR KEDAWUNG & BATUR NANGKA / LOKANANTA )


Alkisah pada masa kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Dyah Ranawijaya atau disebut Girindrawardhana Dyah Ranawijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Prabhu Brawijaya V Maharaja terakhir  Majapahit yang bertakhta sekitar tahun 1474 -1498 Masehi yang beribu kota di Daha (dikenal melalui Prasasti Jiyu, Prasasti Petak, Serat Pararaton), mengutus resi dari Gunung Bromo / Brahma bernama Eyang Resi Dadap Gora Wisesa ( adik dari Eyang Dadap Putih) untuk pergi ke  lereng selatan  Gunung Gora untuk mohon petunjuk kepada Sang Maha Kuasa, singkat cerita dengan mengikuti cahaya  sampailah ke sebuah tempat, ternyata sumber cahaya tersebut yaitu sebuah gundukan tanah sehingga tempat tersebut diberi tanda / tenger (kelak disebut Batur Kedawung), ditempat tersebut beliau manekung untuk meminta petunjuk Sang Maha Kuasa, dari petunjuk tersebut diarahkan ke utara yaitu ke padepokan Sapta Sakala (Batur Sengkala) disana bertemu banyak para resi dan para cantriknya, salah satu sesepuhnya adalah Eyang Panembahan Sapta Sakala, kemudian Eyang Resi Dadap Gora Wisesa menceritakan perjalanannya dari Gunung Bromo karena diutus oleh Prabhu Brawijaya V.  Sesuai petunjuk yang diterima oleh Eyang Panembahan Sapta Sakala beliau diijinkan untuk membuka padepokan tempat sumber cahaya yang dilihat Eyang Resi Gora Wisesa dan diberi nama Tenger. Padepokan Tenger berkembang pesat dari tahun ke tahun untuk belajar berbagai macam keilmuan, mulai dari ilmu agama, kanuragan sampai dengan ilmu tata negara.

Menjelang tahun 1500an kerajaan Majapahit yang masyhur runtuh, di tanah Jawa berdiri Kesultanan  Demak  yang berpusat di Jawa Tengah dengan Sultan pertamanya Raden Patah. Sehubungan dengan adanya huru - hara yang terjadi di daerah Banjar Petambakan (Banjarnegara) tepatnya di Desa Pagedongan - Banjarnegara, maka diutuslah lima orang punggawa dan ulama istana yaitu Sunan Ngantas Angin, Sunan Giri Kencana, Nyi Dyah Siti Rukmini atau Nyi Tilam Sudiyah, Empu Pura Purwadi dan Kyai Nurasan untuk menyelesaikan segala masalah yang ada. Beliau berlima mempunyai tugas untuk menyelesaikan masalah di Pagedongan yang terkenal wingit serta menyebarkan ajaran Islam. Di daerah Pagedongan juga ada seorang pemuda yang gagah perkasa dan sakti mandraguna yaitu Raden Joko Wenang (keturunan Brahmana dari Dieng) dan Kyai Wala sahabatnya. Selama berada di Pagedongan Raden Joko Wenang mengamati gerak – gerik, tutur kata maupun segala tindakan para utusan Demak, dari pengamatannya para utusan Demak menunjukkan sikap yang santun, arif dan bijaksana, maka setelah banyak berdiskusi Raden Joko Wenang (yang kelak bergelar  Panembahan Supit Urang) berkenan masuk agama Islam karena kearif bijaksanaan, ketulusan dan kelembutan para utusan Demak. Raden Joko Wenang bersedia masuk agama Islam dengan syarat tetap boleh melakukan tradisi budaya leluhurnya. Para utusan Demak menyetujuinya.

Setelah urusan di Pagedongan selesai serta telah melaporkannya ke istana Demak, sesuai petunjuk yang didapatkan, para utusan melanjutkan perjalanan ke lerang selatan Gunung Gora. Raden Joko Wenang dan Kyai Wala bersedia mengikutinya. Perjalanan dilanjutkan dari daerah Banjarnegara menuju lereng selatan Gunung Gora. Rombongan yang awalnya lima orang menjadi tujuh orang. Waktu berlalu, tak terasa sampailah pada satu tempat yang sekarang bernama Batur Damar Payung di Desa Kemutug Lor. Rombongan berhenti beberapa hari disana, akhirnya setelah dirasa cukup serta telah mendapatkan petunjuk perjalanan dilanjutkan dan sampailah ke Padepokan Tenger. Rombongan disambut dengan sangat baik oleh Eyang Resi Dadap Gora Wisesa bersama para cantriknya. Setelah cukup beristirahat, Raden Joko wenang dan Empu Pura Purwadi diarahkan ke dukuh Paguran untuk bertemu dengan Eyang Reksa Jati dan ke Lemah Wangi untuk bertemu dengan Eyang Resi Reksa Dewangga (Resi terakhir di Lemah Wangi).

Setelah Eyang Resi Reksa Dewangga dan Eyang Reksa Jati berembuk, maka sepakat untuk mengarahkan  Raden Joko Wenang untuk membuat tempat persembahyangan di nusan supit urang (Batur Nangka / Candi Lokananta).

Raden Joko Wenang segera membuat tempat persembahyangan dengan symbol – symbol untuk menjadi tuntunan bagi generasi penerusnya yaitu yang dikenal dengan symbol 9 5 3 sesuai dengan wejangan Eyang Resi Dadap Gora Wisesa. Angka 9 menggambarkan Nawasanga yaitu 8 arah mata angin dengan diri manusia sebagai pancernya. Angka 5 menggambarkan Panca Weda yaitu Memayu hayuning diri / pribadi, Memayu hayuning kaluarga, Memayu hayuning sesami, Memayu hayuning bangsa, Memayu hayuning bawana. Angka 3 menggambarkan Trimurti yaitu keselarasan antara pikiran, hati dan tindakan. Setelah lama menetap lama di nusan supit urang, maka beliau lebih dikenal dengan nama Panembahan Supit Urang.

Sementara itu, di Padepokan Tenger, rombongan utusan Demak melanjutkan diskusi serta menimba ilmu kepada Eyang Dadap Gora Wisesa, setelah sekian lama akhirnya Sunan Giri Kencana dan Sunan Ngantas Angin mohon pamit untuk kembali ke Pagedongan - Banjarnegara, Empu Pura Purwadi dan Raden Joko Wenang tinggal di Paguran. Kelak Empu Pura Purwadi dimasa tuanya tinggal di Pasir, meninggal dan disemayamkan disana. Sedangakan Kyai Nurasan, Kyai Wala dan Nyi Dyah Rukmini tinggal di Padepokan Tenger. Dan atas ijin Eyang Dadap Gora Wisesa mereka membangun karang padesan di selatan padepokan.

Hari demi hari berlalu, seiring dengan berkembangnya pemukiman penduduk di sekitar padepokan. Karang padesan Tenger semakin berkembang dengan banyaknya orang yang menetap disana. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, pada suatu hari terjadi pageblug yang sangat aneh dan misterius menyerang para penduduknya.

Pageblug itu berupa tiga penyakit yaitu banyaknya orang yang stress/gangguan jiwa, penyakit gatal/gudig dan para wanitanya menderita pendarahan (menstruasi yang tak kunjung berhenti ). Kondisi menjadi sangat mencekam, aktifitas warganya menjadi terhambat, bahkan padepokan yang selalu ramai dikunjungi banyak orang juga ikut menjadi sepi.

Para sesepuh melakukan berbagai upaya untuk dapat mengatasi pageblug itu, karena pageblug itu sudah semakin merajalela bahkan sampai ke wilayah kadipaten Sokraja dan kadipaten Wirasaba. Dengan melalui berbagai upaya, maka mendapatkan petunjuk dari Sang Maha Kuasa. Secara fisik di padepokan Tenger harus ditanami tiga jenis pohon sebagai simbol tiga unsur kekuatan alam yaitu pohon Rukem, pohon Tembaga dan pohon Kedawung. Setelah ditanaminya ketiga pohon tersebut, tersingkaplah tabir gelap yang melingkupinya. Sumber dari pageblug itu ternyata berasal dari kali Tuma ( kutu ). Segera setelah mendapat petunjuk itu lalu dilaksanakan tiga cara untuk mengatasi pagebug, yaitu dengan ramuan, ritual secara tradisi / budaya dan secara keagamaan. Secara keagamaan dilakukan pembacaan sholawat Nariyah dan sholawat Thibbil Qulub / sholawat Asyifa. Setelah seluruh rangkaian acara dilaksanakan, maka keajaiban terjadi, orang – orang yang tadinya sakit berangsur sehat kembali dalam waktu yang sangat cepat. Dari sinilah akhirnya muncul nama Ketenger yang berarti sudah jelas / tertandai dengan baik. Karang padesan Tenger berubah nama menjadi Ketenger. Setelah pageblug reda dan kehidupan warga kembali normal, Nyi Dyah Siti Rukmini berpamitan untuk kembali ke Pagedongan.

Dari kejadian pageblug ini, akhirnya Kyai Nurasan mendapatkan petunjuk untuk menjadi pepeling ( pengingat ) bagi anak cucunya kelak, yaitu :

1.  Aja nganti ninggalake wewaler luhur

2.  Nglembah manah mring diri pribadi, sepadane, alam semestane lan Gustine

3.  Aja open dakwen kang njalari congkrah

Karang padesan Ketenger semakin dikenal masyarakat luas, bahkan sampai menjadi perbincangan di kalangan pejabat kadipaten Wirasaba, sehingga Adipati Wirasaba ke 7 yaitu Adipati Warga Utama I (Bapak mertua Raden Joko Kaiman) sebelum meninggal terbunuh tahun 1578 Masehi oleh utusan Kesultanan Pajang (Sultan Hadiwijaya) sering datang berkunjung untuk menemui Kyai Nurasan dan berbincang panjang lebar tentang berbagai hal. Karena Kyai Nurasan dikenal memang mumpuni dalam berbagai hal, mulai dari kanuragan, kebatinan, ilmu agama, tata Negara sampai ilmu pengobatan.

Bahkan konon setelah Raden Joko Kaiman naik takhta menjadi Adipati Banyumas bergelar Adipati Warga Utama II juga sering berkunjung ke kaarang padesan Ketenger untuk berdiskusi tentang berbagai hal. Termasuk ketika akan membangun Pendopo Si Panji di daerah Kejawar juga minta saran dan petunjuk Kyai Nurasan.

Inilah sekelumit cerita tentang sejarah dusun Ketenger yang telah masyhur sejak jaman dahulu kala dengan penuh orang – orang linuwih yang senantiasa ngagem dan ngugemi ajaran agama namun tidak meninggalkan adat, budaya dan ajaran luhur leluhurnya. Bahwa hidup dan berkehidupan harus harmoni dengan sesamanya dan alam lingkungannya, apabila mengingkari hal – hal tersebut, maka akan menjadi bencana bagi semuanya.


Cerita ini ditulis berdasarkan penelusuran jejak sejarah dan penelusuran secara spiritual

oleh KRT. Sutarno Nursanjaya dan disusun oleh KRT. Kuspono Totoraharjo

Kategori

Popular Tags